Gramsci
berulang kali menggarisbawahi perbedaan fundamental antara gerakan dewan pabrik
dengan bentuk-bentuk serikat buruh yang telah ada lebih dulu, baik yang
berwatak reformis maupun revolusioner semu. Jika ‘periode saat ini merupakan
periode yang revolsuioner’, maka serikat buruh dan aksi politik dari massa dan
para pemimpin mereka haruslah juga berwatak revolusioner. Gerakan dewan-dewan
pabrik harus memiliki karakteristik-karakteristik ini, dan menjawab
kebutuhan-kebutuhan historis yang baru.
‘Kelahiran dewan-dewan buruh pabrik
merepresentasikan sebuah kejadian historis yang besar, merepresentasikan awal
dari sebuah era baru dalam sejarah umat manusia. Karena dewan pabrik itulah,
proses revolusioner muncul ke permukaan dan memasuki fase dimana di dalamnya
dewan pabrik bisa tampil dan membuktikan diri.’ Setiap dewan pabrik harus
menjadi unit dari sebuah gerak perkembangan yang akan berpuncak dalam Komunis
Internasional.
Karakter revolusioner dewan-dewan pabrik itu akan menciptakan
sebuah tipe hubungan yang baru antara serikat buruh dan partai, sebuah tipe
hubungan yang telah terlihat secara implisit dalam pembentukan dewan-dewan
pabrik tersebut: ‘Partai dan serikat buruh tidak boleh memunculkan diri sebagai
guru atau sebagai superstruktur yang telah ada sebelumnya dari institusi baru
ini, yang merupakan institusi hasil perwujudan kongkret dari proses historis
revolusi.
Alih-alih, partai dan serikat buruh harus menjadi agen-agen
pembebasan yang secara sadar membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan penghalang
yang dimunculkan oleh Negara borjuis. Partai dan serikat buruh harus berupaya
untuk mengorganisir kondisi-kondisi eksternal (kondisi politik) secara umum
yang memungkinkan proses revolusioner bisa berkembang dengan paling pesat, yang
memungkinkan kekuatan-kekuatan produktif liberal bisa mencapai perluasannya
secara paling luas.’
Kutipan di atas telah menimbulkan
kontroversi yang tiada henti di kalangan para penafsir Gramsci. Tentu saja
Gramsci menegaskan sifat otonomi dari perkembangan dewan-dewan pabrik, baik
dalam relasinya dengan serikat buruh maupun dengan partai. Bahkan, dia
menempatkan dewan-dewan pabrik di atas keduanya dalam hal arti pentingnya.
Peran serikat buruh dan partai haruslah hanya untuk membersihkan berbagai jenis
rintangan yang dibuat oleh kaum borjuis dari jalan revolusioner yang dilewati
oleh dewan-dewan pabrik.
Namun, jangan kita lupakan bahwa Gramsci menulis
baris-baris kalimat tersebut ketka dia masih menjadi seorang militan dalam
Partai Sosialis, dalam sebuah partai yang semakin menunjukkan sifat parlementer
dan reformisnya. Setelah pengalamannya sebagai pemimpin dan sekretaris Partai
Komunis, yaitu selama tahun-tahun dia dipenjara, dia menulis sebuah catatan
mengenai tema dewan pabrik ini dengan penitikberatan yang sangat berbeda:
‘Haruskah serikat-serikat buruh tunduk pada partai? Adalah kekeliruan jika kita
mengajukan pertanyaan semacam itu.
Pertanyaan itu harus diletakkan dalam
kerangka prinsip berikut: setiap anggota partai, apapun posisi yang dia jabat
atau apapun tugas yang dia jalankan, selalu merupakan anggota partai dan selalu
tunduk pada kepemimpinan partai. Jadi, tak mungkin ada subordinasi antara
serikat buruh dan partai. Jika serikat-serikat buruh telah memilih secara
spontan seorang anggota partai sebagai pemimpin mereka, itu berarti bahwa
serikat-serikat buruh itu secara sukarela bersedia menerima arahan-arahan dari
partai, dan karena itu bersedia secara sukarela menerima (bahkan menginginkan)
kontrol partai atas para pemimpin serikat-serikat buruh.’
Rasanya penting bagi
kita untuk menggarisbawahi arus ‘satu arah’ dalam pemikiran Gramsci tersebut
yang selalu dimulai dari pengakuan secara tegas akan eksistensi dan arti
penting partai agar kemudian partai bisa bercabang ke arah-arah lain. Namun,
mari kita kembali ke tahun-tahun semasa Gramsci terlibat dalam L’Ordine
Nuovo.
No comments:
Write comments