Friday, 11 August 2017

SERIKAT BURUH: HUBUNGAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN PARTAI (BAGIAN 2)

 

Dalam sebuah catatan ringkas yang diterbitkan pada tahun 1918 dalam Il Grido del Popolo, Gramsci memulai analisisnya mengenai serikat-serikat buruh dengan menegaskan bahwa ‘kemunculan koperasi-koperasi pertanian dan pengelompokan-pengelompokan mereka ke dalam serikat-serikat buruh haruslah menjadi sebuah fenomena yang bersifat spontan’. Dan beberapa bulan kemudian, Gramsci berhadapan dengan problem fundamental mengenai relasi antara serikat-serikat buruh dan partai.

Konfederasi Buruh (General Confederation of Labour) berada di tangan kaum reformis, di tangan ‘elemen-elemen borjuis kecil’ dan turut berperanan dalam memperkuat sistem kapitalis. Inilah yang menjadi alasan mengapa terjadi konflik antara CGL dan partai, yaitu konflik antara sebuah organisme yang berupaya untuk menyembunyikan dirinya ‘di bawah kedok efisiensi teknik’ dengan sebuah organisme yang berupaya untuk terlibat dalam politik di arena perjuangan kelas.

Di sisi lain, konflik ini tak akan dan tak akan mungkin bisa menjadi krisis yang bersifat meluas karena krisis dalam tubuh CGL hanya merupakan krisis dari para pemimpinnya, dan karena itu bisa dengan mudah diselesaikan jika seluruh kamerad telah memutuskan untuk berpartisipasi secara lebih aktif dalam kehidupan dan perjuangan serikat buruh.

Bahasan historis mengenai asal-usul, batas-batas dan fungsi dari serikat-serikat buruh menjadi berkembang seiring dengan munculnya mingguan Ordine Nuovo. Serikat buruh, kata Gramsci, berjasa dalam mengorganisir secara pertama kali kelas buruh dan perjuangan kelas, namun karena struktur mereka sendiri, mereka tak bisa bekerja demi sebuah tujuan revolusioner, yaitu perebutan kekuasaan. Sayangnya, seluruh pencapaian yang telah dicapai oleh serikat buruh sejauh ini malah membuat tatanan yang ada, hak milik pribadi dihargai. ‘Jam kerja delapan jam per hari, kenaikan gaji, dan keuntungan-keuntungan yang didapat dari undang-undang yang tidak mengancam laba.’

Para pemilik hak milik pribadi yang borjuis tentu saja memiliki cara-cara yang berlimpah untuk memindahkan beban ‘meningkatnya biaya-biaya umum dari produksi industri baik kepada massa cair dalam negeri maupun kepada masyarakat jajahan’. Paham “serikat buruh-isme” telah mengikuti jalan yang dibangun di atas landasan niat baik, namun yang penuh dengan ilusi yang maha besar.

Orang tak bisa berharap akan bisa mentransformasi sebuah situasi obyektif dengan cara melakukan reformasi-reformasi kecil-kecilan atau bahkan dengan konsesi-konsesi yang bisa dirampas begitu saja setelah perjuangan berat bulan demi bulan: ‘Kediktatoran proletariat ingin menggulingkan tatanan produksi yang kapitalis, ingin menghapuskan hak milik pribadi, karena hanya dengan ini, eksploitasi atas manusia bisa dihapuskan. Kediktatoran proletariat ingin menghapuskan perbedaan kelas, ingin menghapuskan perjuangan kelas karena hanya dengan begitu emansipasi kelas buruh bisa lengkap.’ 

Karena itu, adalah perlu untuk berjuang mentransformasi esensi dari serikat-serikat buruh (yaitu dalam hal fokus perjuangan mereka pada  isu-isu mengenai ‘roti dan mentega’ saja!), dan menyingkirkan dari posisi kepemimpinan ‘beberapa individu’ (yaitu inteligensia yang terbatas) yang pada saatnya akan bisa melemahkan kehendak massa’. Adalah perlu barangkali untuk memahami bahwa ‘paham “serikat buruh-isme” hanya bisa revolusioner ketika ada kemungkinan gramatikal untuk mengkombinasikan antara dua kata tersebut, yaitu serikat buruh dan revolusioner’.


Orang harus sadar bahwa dalam proses perkembangannya, paham serikat buruh-isme telah memperlihatkan diri sebagai sebuah bagian dari masyarakat borjuis, dan bukan sebagai sebuah perjuangan melawan masyarakat borjuis atau sebagai sebuah cara untuk menaklukkan masyarakat borjuis. Kita harus memulai lagi dari unit yang fundamental, yaitu dari pekerja yang sanggup ‘memahami dirinya sendiri sebagai seorang produsen’, yang sanggup melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari proses produksi secara umum, dan yang tak pernah melupakan seluruh saudara sesama buruh, seluruh buruh dan rasa kolektivitas buruh.

Maka, adalah perlu untuk menentang bentuk paham serikat buruh yang reformis dan bentuk paham serikat buruh yang revolusioner semu. Paham individualisme dan pribadi harus diatasi, dan adalah perlu untuk memulai sebuah proses historis yang besar dimana di dalamnya massa buruh menjadi sadar akan kesatuannya yang tak terpisahkan yang didasarkan pada produksi, pada aksi kerja yang kongkret, dan memberi bentuk organik terhadap kesadaran ini dengan jalan membangun hirarki bagi dirinya sendiri. Ini merupakan sebuah proses historis yang maha besar yang ‘akan secara tak terelakkan berpuncak dalam kediktatoran kaum proletariat, dalam Komunis Internasional’.

Sudah tiba saatnya bagi kelahiran gerakan delegasi bengkel kerja di Turin, kelahiran dewan-dewan pabrik di Turin.. Dan Gramsci sendirilah yang mengkaitkan gerakan ini dengan pengalaman Lenin: ‘Konsepsi sistem dewan-dewan pabrik yang dibentuk di atas dasar massa buruh yang diorganisir sesuai dengan tempat kerja, dengan unit-unit produksi, mengambil inspirasinya dari pengalaman historis yang kongkret kaum proletariat Rusia’.

No comments:
Write comments