Gramsci
memberi judul Come deve essere fatto un giornale comunista pada salah
satu artikelnya yang dimuat dalam harian Ordine Nuovo pada tanggal 31
Oktober 1921. Sebuah koran komunis, kata Gramsci, harus menemukan sebuah basis
komunis yang luas yang mendukungnya secara aktif, bukan hanya dalam kata-kata,
namun juga dengan tulisan dan aksi. Tanpa mereka sadari, kaum buruh rupanya
masih terbawa untuk mengasimilasikan tendensi-tendensi borjuis kecil. Sebagai
misal, mereka memandang koran dalam cara yang sama dengan kaum borjuis kecil
memandang koran-koran mereka sendiri.
Ini merupakan problem ‘penggerogotam yang
nyata terhadap kelas buruh’ yang obatnya harus ditemukan. Sebuah kerjasama yang
aktif dan bernilai harus dijalankan, dan pembentukan sebuah ‘mata rantai
permanen antara koran dan inti kaum proletariat yang merasakan dan mengalami
problem-problem kelas secara keseluruhan’ sangat dibutuhkan. Mata rantai ini
tak bisa dan tak boleh dibentuk antar individu, namun antara koran dan massa
buruh, dengan segenap kekuatan organisasi yang mengorganisir gerakan kaum buruh
berada di belakang sebagai pendukungnya.
Arti penting dari harian terhadap
pendidikan, terhadap pembentukan kepribadian, dan terhadap ‘kebebasan’ individu
untuk mengambil pilihan-pilihan yang menentukan tak boleh dilupakan. Media
massa borjuis yang besar, yang disebut sebagai koran-koran independen,
merupakan ‘tentara-tentara ideologis bayaran’ yang melayani kepentingan
kapital, dan berperanan sebagai bagian dari perjuangan kelas, bagian yang
penting.
Koran borjuis berperanan seperti halnya perusahaan komersial besar
yang seluruh niatannya ialah “menyuling laba politik’. Kaum borjuis memiliki
ribuan dan ribuan koran dan mesin cetak. Jadi, bisakah orang sunggguh-sungguh berbicara
tentang kebebasan dalam sebuah Negara yang borjuis? Bisakah orang bisa
sungguh-sungguh mengatakan bahwa sebuah parlemen yang dipilih dalam
kondisi-kondisi demikian merepresentasikan ‘kebebasan’ kehendak dari bangsa?
‘Pers, bersama dengan partai-partai politik, merupakan bagian integral dari
rezim parlementer demokratis yang terorganisir dengan baik. Jika pers gagal
dalam tugasnya untuk menjadi sebuah organ kontrol opini publik yang tak
memihak, siapa yang akan bisa melawan kesewenang-wenangan para pejabat?’ Namun,
justru kelas menengahlah yang pertama kali sadar betul akan kekosongan dari
ideal-ideal yang mendasari masyarakat mereka.
Merekalah yang pertama kali
memahami betapa ideal-ideal tersebut tak memiliki substansi apapun yang nyata:‘Para jurnalis borjuis tahu semua ini, namun mereka membiarkan semua kebohongan
itu terus berlangsung’.Mereka dengan sadar membiarkan setiap manipulasi
atas kebenaran, fakta-fakta dan hati nurani.
No comments:
Write comments