Koran-koran ‘independen’
kadangkala menjadi corong dari beberapa ‘kekuatan-kekuatan tahayul’ yang
memiliki kepentingan untuk memunculkan ‘gerakan-gerakan opini publik yang liar
sepanjang waktu.’ Sejarah Negara Italia juga adalah sejarah bagaimana ‘Negara,
ketika berkeinginan untuk memulai sebuah aksi populer, menciptakan sebelumnya
opini publik yang dibutuhkannya’.
Dengan kata lain, negara Italia menjalankan
serangkaian operasi yang mengijinkannya untuk mengorganisir elemen-elemen civil
society yang dibutuhkannya. Apa yang biasanya ditunjuk
oleh frase ‘opini publik’ barangkali memang telah selalu ada dalam tingkatan
tertentu, bahkan di negeri-negeri timur; namun dalam artian tertentu, frase itu
muncul hanya setelah keruntuhan dan lenyapnya Negara-negara absolutis.
Dalam
periode yang bersamaan, kaum borjuis yang pada saat itu telah cukup kuat sudut
pandang ekonomisnya, berupaya juga untuk merebut kekuasaan politik. Problem
fundamentalnya ialah untuk bisa membuat semua opini publik berpihak kepada
negara borjuis: ‘Karena itu, muncul pertarungan demi monopoli atas organ-organ opini publik: seperti koran,
partai, parlemen, sehingga sebuah kekuatan tunggal akan bisa membentuk opini
dan juga kehendak politik nasional, dan memotong-motong seluruh perbedaan
pendapat menjadi partikel-partikel yang bersifat individual dan non-organik.’
Baru-baru
ini, kata Gramsci dengan merujuk pada situasi periode dimana dia menulis (namun
itu tak berarti tak bernilai dan tak bisa diterapkan untuk konteks saat ini),
muncul dua elemen baru yang mengacaukan rencana-rencana yang telah dibuat
sebelumnya oleh partai-partai tradisional untuk memonopoli opini publik: yaitu
pers gosip dan radio. Kedua elemen baru ini, karena populeritas dan ‘kecepatan
peredarannya’ memiliki kemampuan untuk ‘merangsang munculnya letupan-letupan
kepanikan atau antusiasme fiktif yang spontan yang memungkinkan tercapainya
tujuan-tujuan yang telah ditentukan, sebagai misal dalam pemilu’.
Situasi
letupan spontanitas ini bisa terjadi karena kedaulatan umum dipandang sebagai
sesuatu yang dijalankan hanya pada selang-selang waktu yang reguler, sepperti
setiap tiga, empat atau lima tahun. Maka, kemudian seluruh perhatian dari kelas
yang berkuasa beralih kepada bagaimana menciptakan ‘supremasi ideologis’ (atau
lebih tepatnya, supremasi emosional) pada hari tertentu. Sesudah itu, selama tiga,
empat atau lima tahun berikutnya, kelas ini akan terus melanjutkan kekuasaannya
atas negeri ini.
Bahkan saat emosi tersebut diwujudkan dalam undan-undang,
namun ‘massa pemilih telah menjadi berjarak dengan perwujudan legal dari
dirinya (karena bangsa secara riil berbeda dari bangsa secara legal)’.[1]
Apa yang bisa dilakukan oleh partai-partai untuk mencegah semua ini – semua
manipulasi yang tak tahu malu atas opini publik? Tak banyak, barangkali bahkan
lebih sedikit dari yang bisa dilakukan oleh serikat buruh yang bebas: ‘Salah
satu problem teknik politik yang muncul saat ini, namun yang tak sanggup
ditemukan penyelesaiannya oleh demokrasi, ialah berikut ini: yaitu menciptakan
organ-organ perantara antara massa umum yang tak bisa diorganisir oleh serikat buruh
(atau sulit untuk diorganisir), serikat-serikat buruh profesional,
partai-partai politik dan dewan-dewan legislatif.’
‘Sosialisme masih sering ditampilkan
sebagai musuh keluarga,’ begitu Gramsci mengawali sebuah artikel yang
diterbitkan dalam Il Grido del Popolo yang terbit tanggal 9 Februari
1918. Komentar di atas ini merupakan salah satu komentar klise yang paling
tersebar luas, terutama di kalangan strata penduduk yang tak bersimpati kepada
kaum sosialis, dan yang di sisi lain di kalangan mereka yang tak cukup terdidik
untuk mengetahui program kaum sosialis dan apa yang sebenarnya diperjuangkan
kaum sosialis. Bagi kaum sosialis, keluarga merupakan ‘sebuah organisme moral’.
Keluarga menetapkan kewajiban-kewajiban moral yang pertama kepada individu dan
‘keluarga harus diintegrasikan kembali dalam fungsi moralnya yang satu, yaitu
mempersiapkan manusia, mendidik warga’. Inilah yang menjadi pemikiran kaum
sosialis, paling tidak mereka yang bukan merupakan ‘pemuja fanatik Negara’ dan
mereka yang tidak percaya bahwa ‘dalam sebuah rezim sosialis, pendidikan
anak-anak harus diserahkan kepada institusi-institusi Negara’.
Namun, pernahkah
muncul dalam pemikiran bahwa dalam masyarakat borjuis, setiap individu harus
memecahkan problem-problem kelangsungan hidupnya sendiri, problem anak-anak dan
istrinya dengan sebuah sarana-sarana ‘solusi yang antimanusiawi’, dengan sarana
perjuangan yang melawan individu-individu yang lain, dengan penguasaan hak
istimewa yang secara niscaya didasarkan pada beban pundak manusia-manusia yang
lain?
Penghapusan hak milik, di sisi lain, bisa ‘menjadikan keluarga menjadi
apa yang ditakdirkan sebagai tujuan dirinya: yaitu sebagai organ dari kehidupan
moral’.
x
[1] Ini merupakan sebuah ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan
bagaimana pemilu yang sangat dibatasi dijadikan dasar bagi Negara Italia.
No comments:
Write comments