Friday, 11 August 2017

PENDIDIKAN, SEKOLAH, DAN MEDIA MASSA: KELUARGA DAN KAUM WANITA DALAM MASYARAKAT (BAGIAN 6)

 

Koran-koran ‘independen’ kadangkala menjadi corong dari beberapa ‘kekuatan-kekuatan tahayul’ yang memiliki kepentingan untuk memunculkan ‘gerakan-gerakan opini publik yang liar sepanjang waktu.’ Sejarah Negara Italia juga adalah sejarah bagaimana ‘Negara, ketika berkeinginan untuk memulai sebuah aksi populer, menciptakan sebelumnya opini publik yang dibutuhkannya’.

Dengan kata lain, negara Italia menjalankan serangkaian operasi yang mengijinkannya untuk mengorganisir elemen-elemen civil society yang dibutuhkannya. Apa yang biasanya ditunjuk oleh frase ‘opini publik’ barangkali memang telah selalu ada dalam tingkatan tertentu, bahkan di negeri-negeri timur; namun dalam artian tertentu, frase itu muncul hanya setelah keruntuhan dan lenyapnya Negara-negara absolutis.

Dalam periode yang bersamaan, kaum borjuis yang pada saat itu telah cukup kuat sudut pandang ekonomisnya, berupaya juga untuk merebut kekuasaan politik. Problem fundamentalnya ialah untuk bisa membuat semua opini publik berpihak kepada negara borjuis: ‘Karena itu, muncul pertarungan demi monopoli  atas organ-organ opini publik: seperti koran, partai, parlemen, sehingga sebuah kekuatan tunggal akan bisa membentuk opini dan juga kehendak politik nasional, dan memotong-motong seluruh perbedaan pendapat menjadi partikel-partikel yang bersifat individual dan non-organik.’


Baru-baru ini, kata Gramsci dengan merujuk pada situasi periode dimana dia menulis (namun itu tak berarti tak bernilai dan tak bisa diterapkan untuk konteks saat ini), muncul dua elemen baru yang mengacaukan rencana-rencana yang telah dibuat sebelumnya oleh partai-partai tradisional untuk memonopoli opini publik: yaitu pers gosip dan radio. Kedua elemen baru ini, karena populeritas dan ‘kecepatan peredarannya’ memiliki kemampuan untuk ‘merangsang munculnya letupan-letupan kepanikan atau antusiasme fiktif yang spontan yang memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditentukan, sebagai misal dalam pemilu’.

Situasi letupan spontanitas ini bisa terjadi karena kedaulatan umum dipandang sebagai sesuatu yang dijalankan hanya pada selang-selang waktu yang reguler, sepperti setiap tiga, empat atau lima tahun. Maka, kemudian seluruh perhatian dari kelas yang berkuasa beralih kepada bagaimana menciptakan ‘supremasi ideologis’ (atau lebih tepatnya, supremasi emosional) pada hari tertentu. Sesudah itu, selama tiga, empat atau lima tahun berikutnya, kelas ini akan terus melanjutkan kekuasaannya atas negeri ini.

Bahkan saat emosi tersebut diwujudkan dalam undan-undang, namun ‘massa pemilih telah menjadi berjarak dengan perwujudan legal dari dirinya (karena bangsa secara riil berbeda dari bangsa secara legal)’.[1] Apa yang bisa dilakukan oleh partai-partai untuk mencegah semua ini – semua manipulasi yang tak tahu malu atas opini publik? Tak banyak, barangkali bahkan lebih sedikit dari yang bisa dilakukan oleh serikat buruh yang bebas: ‘Salah satu problem teknik politik yang muncul saat ini, namun yang tak sanggup ditemukan penyelesaiannya oleh demokrasi, ialah berikut ini: yaitu menciptakan organ-organ perantara antara massa umum yang tak bisa diorganisir oleh serikat buruh (atau sulit untuk diorganisir), serikat-serikat buruh profesional, partai-partai politik dan dewan-dewan legislatif.’

‘Sosialisme masih sering ditampilkan sebagai musuh keluarga,’ begitu Gramsci mengawali sebuah artikel yang diterbitkan dalam Il Grido del Popolo yang terbit tanggal 9 Februari 1918. Komentar di atas ini merupakan salah satu komentar klise yang paling tersebar luas, terutama di kalangan strata penduduk yang tak bersimpati kepada kaum sosialis, dan yang di sisi lain di kalangan mereka yang tak cukup terdidik untuk mengetahui program kaum sosialis dan apa yang sebenarnya diperjuangkan kaum sosialis. Bagi kaum sosialis, keluarga merupakan ‘sebuah organisme moral’.

Keluarga menetapkan kewajiban-kewajiban moral yang pertama kepada individu dan ‘keluarga harus diintegrasikan kembali dalam fungsi moralnya yang satu, yaitu mempersiapkan manusia, mendidik warga’. Inilah yang menjadi pemikiran kaum sosialis, paling tidak mereka yang bukan merupakan ‘pemuja fanatik Negara’ dan mereka yang tidak percaya bahwa ‘dalam sebuah rezim sosialis, pendidikan anak-anak harus diserahkan kepada institusi-institusi Negara’.

Namun, pernahkah muncul dalam pemikiran bahwa dalam masyarakat borjuis, setiap individu harus memecahkan problem-problem kelangsungan hidupnya sendiri, problem anak-anak dan istrinya dengan sebuah sarana-sarana ‘solusi yang antimanusiawi’, dengan sarana perjuangan yang melawan individu-individu yang lain, dengan penguasaan hak istimewa yang secara niscaya didasarkan pada beban pundak manusia-manusia yang lain?

Penghapusan hak milik, di sisi lain, bisa ‘menjadikan keluarga menjadi apa yang ditakdirkan sebagai tujuan dirinya: yaitu sebagai organ dari kehidupan moral’.

x

[1] Ini merupakan sebuah ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemilu yang sangat dibatasi dijadikan dasar bagi Negara Italia. 

No comments:
Write comments