Friday, 11 August 2017

PENDIDIKAN, SEKOLAH, DAN MEDIA MASSA: KELUARGA DAN KAUM WANITA DALAM MASYARAKAT (BAGIAN 7)

 

Catatan-catatan sosial kecil dalam koran-koran, bahkan dalam koran-koran kecil, telah merangsang refleksi-refleksi yang menarik dan membawa orang kepada pemikiran-pemikiran mendalam. Segala sesuatu memiliki cita rasanya sendiri, kebenarannya sendiri. Saat membaca catatan-catatan statistik resmi, Gramsci menulis (terasa agak ironi juga karena harian Ordine Nuovo terpaksa menerbitkan catatan-catatan statistik itu dalam kolom-kolomnya seperti yang dilakukan oleh koran-koran lain atas dasar kengototan para pembacanya) berita-berita atau ide-ide yang menarik.

‘Di satu sisi, kaum borjuis dan di sisi lain, kaum proletariat ada dalam catatan statistik ini sebagaimana halnya ada dalam kota imajiner yang diciptakan oleh Wells dimana sedikit demi sedikit, dua wujud kemanusiaan meningkat pesat jumlahnya tanpa ada kontak sama sekali di antara keduanya. Hasil pengamatan pertama menunjukkan bahwa ada banyak buruh muda yang menikah, yang memiliki keberanian untuk menghadapi kehidupan, sementara ada sangat sedikit anak muda dari kelas menengah yang melakukan hal yang sama, hanya satu dari sepuluh orang.

‘Jika diamati lebih jauh, sementara sangat jarang bagi seorang buruh muda untuk menikahi seorang wanita dari lapisan kelas menengah, hal sebaliknya sering terjadi. Apa sebabnya? Barangkali karena fakta bahwa para buruh merasa lebih kuat ikatan karakteristik dan asal-usulnya sebagai kelas buruh, dan terhadap wanita-wanita borjuis, mereka merasa acuh tak acuh, jika bukannya memusuhi.’ Namun, ada yang lebih membingungkan dalam catatan-catatan statistik resmi tersebut”

‘Lihat bagaimana keungggulan para buruh terampil cenderung terjaga dalam hal memilih pasangan hidup, dan yang terutama lihat bagaimana kelompok semi-proletariat mempertahankan karakteristik mereka, bagaimana kelompok anggota kelas menengah merasa malu disebut sebagai buruh, bagaimana para buruh yang sangat ingin hidup seperti halnya kelas menengah dan yang jika gagal mencapainya lewat pekerjaan, akan berusaha untuk mengangkat taraf diri mereka dengan menikahi seorang “intelektual” ketimbang seorang kamerad sesama buruh.’ Tentu saja, sudah jelas apa yang hendak dikatakan oleh Gramsci.

Hal tersebut merupakan sebuah contoh dari bagaimana, bahkan dari pembacaan atas kolom nama dan jumlah, kita bisa menarik pelajaran mengenai sejarah kelas dan mengembangkan sebuah pelajaran berharga darinya bagi siapa saja: ‘Bahkan catatan statistik yang paling kering dan paling monoton pun menjalani kehidupan yang sama sebagaimana semua fakta yang membentuknya.’

 Di samping itu, masa tersebut merupakan sebuah periode dimana perbincangan mengenai keluarga, mengenai arti penting wanita dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai kehidupan seksual dan pernikahan menyebar luas. Persoalan seksual terutama menjadi ‘obsesi’ yang luas. Barangkali hal ini terkait dengan bentuk keterpisahan tertentu antara kota dan pedesaan yang kita saksikan dalam masa kita, kata Gramsci. Tentu, bukan kebetulan bahwa semua buku ‘utopia’ memimpikan sebuah masyarakat yang didasarkan pada komunisme primitif, dimana persoalan seksual ‘harus memainkan peran yang sangat besar’.

Bahkan harus diingat, reproduksi sendiri memiliki sebuah ‘fungsi ekonomi’. Namun persoalan seksual membawa dalam dirinya persoalan lain, barangkali persoalan yang lebih penting, ‘yaitu persoalan pembentukan sebuah kepribadian feminin yang baru’. Kaum wanita harus memiliki posisi yang berbeda dalam ranah keluarga dan masyarakat. ‘Sepanjang kaum wanita bukan saja belum mencapai kemandiriannya yang riil dari kaum pria, namun juga konsepsi baru atas diri mereka dan peran mereka dalam hubungan seksual, maka persoalan seksual akan tetap penuh dengan karakteristik yang tak sehat. Karena itu untuk bersikap hati-hati dalam melakukan perubahan dalam perundang-undangan.’

Posisi wanita dalam keluarga dan dalam masyarakat pada masa-masa itu sungguh sulit. Ketidakamanan dan ketidakstabilan yang dirasakan oleh kaum wanita menjadi bukti akan hal ini. Bukan hanya wanita yang telah menikah, yang menjadi kepala keluarga dengan beberapa anak, yang tak sanggup memahami sesuatu yang lebih jauh di luar rasa cinta kasih mereka yang kuat terhadap anak-anaknya. ‘Ibu tak boleh merasa khawatir, dan ibu harus berpikiran bahwa saya dalam keadaan damai.

Oh! Ibu-ibu yang terlalu mengasihi anaknya! Jika saja dunia ini selalu berada di tangan ibu-ibu yang demikian, maka para laki-laki akan tinggal di gua-gua dan berpakaian kulit kambing!’ tulis Gramsci kepada ibunya pada tanggal 7 November 1927; namun juga wanita yang belum menikah tampaknya hanya melulu tahu tentang tugas ‘keibuan’-nya, dan tak sanggup memahami problem-problem sosial yang melingkupinya yang tak berdampak langsung terhadap dirinya.

‘Segala sesuatu,’ tulis Gramsci sekali lagi kepada ibunya pada tanggal 1 Februari 1932 menyinggung masalah keponakan perempuannya, Mea, ‘terletak dalam kemauan baik dan ambisinya dalam artian yang baik. Selain itu, dunia tak akan runtuh jika dia menghabiskan waktunya di Ghilarza, hanya duduk-duduk merajut karena tak memiliki keinginan untuk berusaha mencapai keberhasilan dalam melakukan sesuatu secara lebih baik dan lebih brilyan. Saya tak tahu apakah dia menjadi anggota organisasi pemudi Fasis.

Saya rasa begitu, meskipun ibu tak pernah menulis tentangnya kepadaku, dan saya membayangkan bahwa dia memang memiliki beberapa ketertarikan dalam pertunjukan-pertunjukan semacam itu. Jadi, dia akan menjalani takdir yang sama seperti para pemudi Italia lainnya, yaitu menjadi ibu yang baik buat keluarganya, seperti sebutan buat mereka. Mereka menjalani takdir demikian karena menikahi orang pandir, yang sesungguhnya belum tentu pandir karena sebenarnya orang pandir hanya ingin menikahi ayam-ayam betina yang berasal dari negeri-negeri Skandinavia dan kaya-raya.’

Gramsci sendiri secara pribadi sangat menghormati pribadi wanita. Rasa sayangnya dan rasa hormatnya kepada ibunya dan saudara ipar perempuannya tampak jelas dari kehidupan dan dalam surat-suratnya. Memang masih harus dinilai secara umum sikap ‘teoretis’-nya terhadap wanita yang bagi kita, -para pembaca di sebuah masa yang telah mengalami perubahan-perubahan secara begitu cepat, termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kita,- mungkin tampak begitu terbatas.


No comments:
Write comments