Catatan-catatan
sosial kecil dalam koran-koran, bahkan dalam koran-koran kecil, telah
merangsang refleksi-refleksi yang menarik dan membawa orang kepada
pemikiran-pemikiran mendalam. Segala sesuatu memiliki cita rasanya sendiri,
kebenarannya sendiri. Saat membaca catatan-catatan statistik resmi, Gramsci
menulis (terasa agak ironi juga karena harian Ordine Nuovo terpaksa
menerbitkan catatan-catatan statistik itu dalam kolom-kolomnya seperti yang
dilakukan oleh koran-koran lain atas dasar kengototan para pembacanya)
berita-berita atau ide-ide yang menarik.
‘Di satu sisi, kaum borjuis dan di
sisi lain, kaum proletariat ada dalam catatan statistik ini sebagaimana halnya
ada dalam kota imajiner yang diciptakan oleh Wells dimana sedikit demi sedikit,
dua wujud kemanusiaan meningkat pesat jumlahnya tanpa ada kontak sama sekali di
antara keduanya. Hasil pengamatan pertama menunjukkan bahwa ada banyak buruh
muda yang menikah, yang memiliki keberanian untuk menghadapi kehidupan,
sementara ada sangat sedikit anak muda dari kelas menengah yang melakukan hal
yang sama, hanya satu dari sepuluh orang.
‘Jika diamati lebih jauh, sementara
sangat jarang bagi seorang buruh muda untuk menikahi seorang wanita dari
lapisan kelas menengah, hal sebaliknya sering terjadi. Apa sebabnya? Barangkali
karena fakta bahwa para buruh merasa lebih kuat ikatan karakteristik dan
asal-usulnya sebagai kelas buruh, dan terhadap wanita-wanita borjuis, mereka
merasa acuh tak acuh, jika bukannya memusuhi.’ Namun, ada yang lebih
membingungkan dalam catatan-catatan statistik resmi tersebut”
‘Lihat bagaimana
keungggulan para buruh terampil cenderung terjaga dalam hal memilih pasangan
hidup, dan yang terutama lihat bagaimana kelompok semi-proletariat
mempertahankan karakteristik mereka, bagaimana kelompok anggota kelas menengah
merasa malu disebut sebagai buruh, bagaimana para buruh yang sangat ingin hidup
seperti halnya kelas menengah dan yang jika gagal mencapainya lewat pekerjaan,
akan berusaha untuk mengangkat taraf diri mereka dengan menikahi seorang
“intelektual” ketimbang seorang kamerad sesama buruh.’ Tentu saja, sudah jelas
apa yang hendak dikatakan oleh Gramsci.
Hal tersebut merupakan sebuah contoh
dari bagaimana, bahkan dari pembacaan atas kolom nama dan jumlah, kita bisa
menarik pelajaran mengenai sejarah kelas dan mengembangkan sebuah pelajaran
berharga darinya bagi siapa saja: ‘Bahkan catatan statistik yang paling kering
dan paling monoton pun menjalani kehidupan yang sama sebagaimana semua fakta
yang membentuknya.’
Di samping itu, masa tersebut
merupakan sebuah periode dimana perbincangan mengenai keluarga, mengenai arti
penting wanita dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai kehidupan seksual
dan pernikahan menyebar luas. Persoalan seksual terutama menjadi ‘obsesi’ yang
luas. Barangkali hal ini terkait dengan bentuk keterpisahan tertentu antara
kota dan pedesaan yang kita saksikan dalam masa kita, kata Gramsci. Tentu,
bukan kebetulan bahwa semua buku ‘utopia’ memimpikan sebuah masyarakat yang
didasarkan pada komunisme primitif, dimana persoalan seksual ‘harus memainkan
peran yang sangat besar’.
Bahkan harus diingat, reproduksi sendiri memiliki
sebuah ‘fungsi ekonomi’. Namun persoalan seksual membawa dalam dirinya
persoalan lain, barangkali persoalan yang lebih penting, ‘yaitu persoalan
pembentukan sebuah kepribadian feminin yang baru’. Kaum wanita harus memiliki posisi
yang berbeda dalam ranah keluarga dan masyarakat. ‘Sepanjang kaum wanita bukan
saja belum mencapai kemandiriannya yang riil dari kaum pria, namun juga
konsepsi baru atas diri mereka dan peran mereka dalam hubungan seksual, maka
persoalan seksual akan tetap penuh dengan karakteristik yang tak sehat. Karena
itu untuk bersikap hati-hati dalam melakukan perubahan dalam
perundang-undangan.’
Posisi wanita dalam keluarga dan
dalam masyarakat pada masa-masa itu sungguh sulit. Ketidakamanan dan
ketidakstabilan yang dirasakan oleh kaum wanita menjadi bukti akan hal ini.
Bukan hanya wanita yang telah menikah, yang menjadi kepala keluarga dengan
beberapa anak, yang tak sanggup memahami sesuatu yang lebih jauh di luar rasa
cinta kasih mereka yang kuat terhadap anak-anaknya. ‘Ibu tak boleh merasa
khawatir, dan ibu harus berpikiran bahwa saya dalam keadaan damai.
Oh! Ibu-ibu
yang terlalu mengasihi anaknya! Jika saja dunia ini selalu berada di tangan
ibu-ibu yang demikian, maka para laki-laki akan tinggal di gua-gua dan
berpakaian kulit kambing!’ tulis Gramsci kepada ibunya pada tanggal 7 November
1927; namun juga wanita yang belum menikah tampaknya hanya melulu tahu tentang
tugas ‘keibuan’-nya, dan tak sanggup memahami problem-problem sosial yang
melingkupinya yang tak berdampak langsung terhadap dirinya.
‘Segala sesuatu,’
tulis Gramsci sekali lagi kepada ibunya pada tanggal 1 Februari 1932
menyinggung masalah keponakan perempuannya, Mea, ‘terletak dalam kemauan baik
dan ambisinya dalam artian yang baik. Selain itu, dunia tak akan runtuh jika
dia menghabiskan waktunya di Ghilarza, hanya duduk-duduk merajut karena tak
memiliki keinginan untuk berusaha mencapai keberhasilan dalam melakukan sesuatu
secara lebih baik dan lebih brilyan. Saya tak tahu apakah dia menjadi anggota
organisasi pemudi Fasis.
Saya rasa begitu, meskipun ibu tak pernah menulis
tentangnya kepadaku, dan saya membayangkan bahwa dia memang memiliki beberapa
ketertarikan dalam pertunjukan-pertunjukan semacam itu. Jadi, dia akan
menjalani takdir yang sama seperti para pemudi Italia lainnya, yaitu menjadi
ibu yang baik buat keluarganya, seperti sebutan buat mereka. Mereka menjalani
takdir demikian karena menikahi orang pandir, yang sesungguhnya belum tentu
pandir karena sebenarnya orang pandir hanya ingin menikahi ayam-ayam betina
yang berasal dari negeri-negeri Skandinavia dan kaya-raya.’
Gramsci sendiri secara pribadi sangat menghormati pribadi wanita. Rasa
sayangnya dan rasa hormatnya kepada ibunya dan saudara ipar perempuannya tampak
jelas dari kehidupan dan dalam surat-suratnya. Memang masih harus dinilai
secara umum sikap ‘teoretis’-nya terhadap wanita yang bagi kita, -para pembaca
di sebuah masa yang telah mengalami perubahan-perubahan secara begitu cepat,
termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kita,- mungkin tampak begitu terbatas.
No comments:
Write comments