Friday, 11 August 2017

PENDIDIKAN, SEKOLAH, DAN MEDIA MASSA: KELUARGA DAN KAUM WANITA DALAM MASYARAKAT (BAGIAN 2)

 

Gramsci memandang problem sekolah ini sebagai sebuah problem yang bersifat teknis sekaligus politik. Negara liberal tak memiliki kesanggupan untuk mengatasinya, bahkan tak memiliki kesanggupan untuk menyelaraskannya dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuannya sendiri. Hal ini karena secara blak-blakan bisa dikatakan bahwa ‘kelas menengah menjalankan sekolah-sekolah demi tujuan-tujuan kekuasaannya’.

Sifat otonom ini sesungguhnya bisa menjadi keuntungan bagi sekolah-sekolah sepanjang sekolah-sekolah itu menjalin kontak dengan realitas. Namun alih-alih, kaum borjuis malah mengangkat menteri-menteri Pengajaran Umum semata-mata di atas dasar kriteria yang bersifat oportunistik. Kaum borjuis telah menyerahkan sekolah-sekolah kepada birokrat-birokrat, dan hanya mengejar terciptanya keseimbangan yang paling stabil antar berbagai klik dalam tubuh partai Pemerintahan atau partai-partai politik.

Sebaliknya, ‘di Negara dewan-dewan buruh, sekolah-sekolah ini merepresentasikan salah satu dari aktivitas-aktivitas publik yang paling penting dan esensial.’ Kita mungkin bisa melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa gerak perkembangan yang positif dari masyarakat komunis akan sangat bergantung pada gerak perkembangan yang teratur dan rasional dari sekolah-sekolah. Ini merupakan prinsip-prinsip yang harus kita percayai, kata Gramsci. Kita memang harus mengelaborasi sebuah solusi atas berbagai problem secara menyeluruh, namun solusi awal tetap bisa dan harus diambil.

Konsep yang dianut saat ini oleh kaum sosialis ‘bahwa sekolah kejuruan merupakan sekolahnya kaum buruh’, harus ditolak dengan tegas. ‘Dalam konsep tersebut, terletak pengakuan bahwa masih terdapat dua kelas yang bersifat turun-temurun.’ Ini merupakan sebuah tesis yang kontra-revolusioner dan karena itu, harus dilawan sebagaimana halnya ide yang dianut secara khas oleh organisasi pendidikan kaum borjuis bahwa tujuan alami dari pendidikan ialah ‘kultur obyektif.’

‘Pemisahan secara mendasar tehadap sekolah-sekolah,’ tulis Gramsci dalam Gli Intellettuali, ‘antara sekolah klasik dan sekolah kejuruan merupakan sebuah skema yang rasional: sekolah kejuruan bagi kelas-kelas subordinat dan sekolah-sekolah klasik bagi kelas yang berkuasa dan bagi para intelektual.’ Kata sifat rasional di sini harus dipahami dalam artian terarah menuju sebuah tujuan tertentu. ‘Saat ini, terdapat sebuah kecenderungan untuk menghapuskan setiap tipe persekolahan yang “tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan langsung” (disinterested school) (yang tidak langsung bersifat praktis [sekolah klasik]) atau tipe persekolahan “pembentukan diri” (formative school).

Atau hanya membangun sejumlah kecil sekolah klasik yang diperuntukkan bagi sejumlah kecil elit laki-laki dan wanita yang tak pernah khawatir akan masa depannya, serta membangun secara luas sekolah-sekolah kejuruan spesialisasi yang sudah dengan sendirinya sedari awal telah menentukan takdir dari para murid dan aktivitasnya di masa depan’.

Sekolah komprehensif, -yang akan dibangun oleh sosialisme untuk melenyapkan keterpisahan kelas dalam masyarakat sejak dari akarnya,- haruslah berupaya untuk menanamkan nilai-nilai ‘humanisme’ yang fundamental. Pada intinya, sekolah-sekolah itu harus menanamkan disiplin diri dan otonomi yang akan memungkinkan setiap orang, sebagai hasil dari proses studi mereka, untuk memiliki kesanggupan intelektual maupun moral untuk mencapai jenjang spesialisasi yang lebih tinggi, baik yang bersifat saintifik (studi-studi di Universitas) maupun yang bersifat praktis dan produktif (dalam dunia industri, dalam birokrasi dsb.).

Dalam tahun-tahun pembentukan diri ini, agar para murid bisa mencapai kematangan intelektual dan moral yang diinginkan, ‘sebuah sikap ketegasan yang otoritatif dan menentukan tidak boleh dijalankan secara kaku’, meski tujuannya ialah bagaimana ‘memoderasikan dan memperkaya orientasi dogmatis yang mau tak mau harus dimiliki pada usia-usia awal tersebut’.

No comments:
Write comments