Gramsci
memandang problem sekolah ini sebagai sebuah problem yang bersifat teknis
sekaligus politik. Negara liberal tak memiliki kesanggupan untuk mengatasinya,
bahkan tak memiliki kesanggupan untuk menyelaraskannya dengan
kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuannya sendiri. Hal ini karena secara
blak-blakan bisa dikatakan bahwa ‘kelas menengah menjalankan sekolah-sekolah
demi tujuan-tujuan kekuasaannya’.
Sifat otonom ini sesungguhnya bisa menjadi
keuntungan bagi sekolah-sekolah sepanjang sekolah-sekolah itu menjalin kontak
dengan realitas. Namun alih-alih, kaum borjuis malah mengangkat menteri-menteri
Pengajaran Umum semata-mata di atas dasar kriteria yang bersifat oportunistik.
Kaum borjuis telah menyerahkan sekolah-sekolah kepada birokrat-birokrat, dan
hanya mengejar terciptanya keseimbangan yang paling stabil antar berbagai klik
dalam tubuh partai Pemerintahan atau partai-partai politik.
Sebaliknya, ‘di
Negara dewan-dewan buruh, sekolah-sekolah ini merepresentasikan salah satu dari
aktivitas-aktivitas publik yang paling penting dan esensial.’ Kita mungkin bisa
melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa gerak perkembangan yang positif dari
masyarakat komunis akan sangat bergantung pada gerak perkembangan yang teratur
dan rasional dari sekolah-sekolah. Ini merupakan prinsip-prinsip yang harus
kita percayai, kata Gramsci. Kita memang harus mengelaborasi sebuah solusi atas
berbagai problem secara menyeluruh, namun solusi awal tetap bisa dan harus
diambil.
Konsep yang dianut saat ini oleh kaum sosialis ‘bahwa sekolah kejuruan
merupakan sekolahnya kaum buruh’, harus ditolak dengan tegas. ‘Dalam konsep
tersebut, terletak pengakuan bahwa masih terdapat dua kelas yang bersifat
turun-temurun.’ Ini merupakan sebuah tesis yang kontra-revolusioner dan karena
itu, harus dilawan sebagaimana halnya ide yang dianut secara khas oleh
organisasi pendidikan kaum borjuis bahwa tujuan alami dari pendidikan ialah
‘kultur obyektif.’
‘Pemisahan secara mendasar tehadap sekolah-sekolah,’ tulis
Gramsci dalam Gli Intellettuali, ‘antara sekolah klasik dan sekolah
kejuruan merupakan sebuah skema yang rasional: sekolah kejuruan bagi
kelas-kelas subordinat dan sekolah-sekolah klasik bagi kelas yang berkuasa dan
bagi para intelektual.’ Kata sifat rasional di sini harus dipahami dalam
artian terarah menuju sebuah tujuan tertentu. ‘Saat ini, terdapat sebuah
kecenderungan untuk menghapuskan setiap tipe persekolahan yang “tidak memenuhi
kebutuhan-kebutuhan langsung” (disinterested school) (yang tidak
langsung bersifat praktis [sekolah klasik]) atau tipe persekolahan “pembentukan
diri” (formative school).
Atau hanya membangun sejumlah kecil sekolah
klasik yang diperuntukkan bagi sejumlah kecil elit laki-laki dan wanita yang
tak pernah khawatir akan masa depannya, serta membangun secara luas
sekolah-sekolah kejuruan spesialisasi yang sudah dengan sendirinya sedari awal
telah menentukan takdir dari para murid dan aktivitasnya di masa depan’.
Sekolah komprehensif, -yang akan dibangun oleh sosialisme untuk melenyapkan
keterpisahan kelas dalam masyarakat sejak dari akarnya,- haruslah berupaya
untuk menanamkan nilai-nilai ‘humanisme’ yang fundamental. Pada intinya,
sekolah-sekolah itu harus menanamkan disiplin diri dan otonomi yang akan
memungkinkan setiap orang, sebagai hasil dari proses studi mereka, untuk
memiliki kesanggupan intelektual maupun moral untuk mencapai jenjang
spesialisasi yang lebih tinggi, baik yang bersifat saintifik (studi-studi di
Universitas) maupun yang bersifat praktis dan produktif (dalam dunia industri,
dalam birokrasi dsb.).
Dalam tahun-tahun pembentukan diri ini, agar para murid
bisa mencapai kematangan intelektual dan moral yang diinginkan, ‘sebuah sikap
ketegasan yang otoritatif dan menentukan tidak boleh dijalankan secara kaku’,
meski tujuannya ialah bagaimana ‘memoderasikan dan memperkaya orientasi
dogmatis yang mau tak mau harus dimiliki pada usia-usia awal tersebut’.
No comments:
Write comments