Friday, 11 August 2017

PENDIDIKAN, SEKOLAH, DAN MEDIA MASSA: KELUARGA DAN KAUM WANITA DALAM MASYARAKAT (BAGIAN 1)

 

PENDIDIKAN, SEKOLAH, DAN MEDIA MASSA: KELUARGA DAN KAUM WANITA DALAM MASYARAKAT

‘Sekolah tradisional berwatak oligarkis
karena diperuntukkan buat generasi baru
dari lapis penguasa,
yang pada gilirannya juga akan berkuasa’
namun sekolah tradisional juga berwatak tidak oligarkis
karena metode pendidikannya.’
(Gramsci, Gli intellettuali e l’organizzazione della cultura, h. 112)

Gramsci membahas problem pendidikan proletarian, dan termasuk di dalamnya problem sekolah, untuk pertama kalinya secara gamblang dan baru dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam Il Grido del Popolo pada tanggal 9 Desember 1916. Dia menyebut problem pembentukan manusia ‘dalam fungsi gandanya, yaitu fungsi teknis dan spiritual’ sebagai problem ‘primer’. Selama masa-masa Perang Dunia Pertama, kaum borjuis Italia telah membicarakan tentang perlunya sebuah pendidikan ‘yang bersifat nasional’.

Namun, menurut Gramsci, saat ini hal yang lebih perlu dilakukan ialah ‘menentang tesis sosialis bahwa pendidikan yang humanis yang sederhana dan murni sajalah yang cocok bagi kelas masyarakat umum yang berhak mendapatkan pendidikan’. Pembedaan yang lebih penting bukanlah antara sekolah-sekolah nasional atau humanis, atau antara sekolah-sekolah agama dan sekuler, namun mengenai isi dari program pendidikan untuk massa. Isi dari program itu haruslah bersumber dari kesadaran yang bersifat serta merta dan langsung akan kebutuhan-kebutuhan, cita-cita, hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka’.

Semua ini tak akan mungkin tercapai sepanjang ada monopoli terhadap pendidikan, dimana kekuasaan dalam sekolah-sekolah berada di tangan kaum borjuis atau para pendeta: ‘Kita harus merebut pendidikan massa dari kelas-kelas yang berkuasa.’

Sistem pendidikan borjuis sendiri tengah berada dalam kehancuran. Anak-anak dari kelas menengah yang kolot tak lagi memiliki ideal-ideal, dan berlagak menjadi para pahlawan dan meniru ayah-ayah mereka dengan jalan mengejek sekolah, pengajaran, pendidikan dan setiap bentuk disiplin dan kerja. Anak-anak yang bersekolah di sekolah Little Turin bermain-main menjadi anggota-anggota serikat buruh dan menentang ‘eksploitasi’ yang dijalankan oleh guru-guru mereka.

‘Pemberontakan’ mereka ini tentu saja lantas menimbulkan rasa muak sekaligus sedih: ‘Anak-anak muda menjadi pengecut sekaligus melihat terlalu banyak kepengecutan. Kekasaran spiritual yang sedemikian kuat melanda di kalangan anak-anak muda itu begitu memalukan dan menyedihkan.’ Namun, kita tak harus terperanjat atau terkejut atas situasi ini karena anak-anak dari para anggota kelas menengah memang tidak memiliki ideal-ideal yang bisa memandu gerak perjuangan mereka, yang bisa memandu ‘tuntutan-tuntutan’ mereka.

Pada akhirnya, yang mereka miliki hanyalah kemampuan yang sangat tidak terbatas untuk menemukan kelemahan-kelemahan dan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan fisik dari guru-guru mereka dan mengejek penampilan luar dan cita-cita kecil guru-guru mereka. Ini semua bukan lagi kenakalan ala kanak-kanak. Kedangkalan naluriah semacam itu, kenakalan yang tak terkendali semacam itu telah membuat cemas warga negara-warga negara yang menjadikan sekolah-sekolah dan pendidikan anak-anak muda sebagai jantung kepeduliannya.

Namun, apa yang sesungguhnya terjadi ialah ‘sekolah-sekolah itu tengah mengalami disintegrasi sebagaimana yang dialami oleh institusi-institusi yang lain, dan dipenuhi dengan segerombolan gangster. Korupsi tengah menyelusup dan menghancurkan sekolah-sekolah yang seharusnya bertugas memperbaharui masyarakat dengan cara membentuk diri generasi-generasi masa depan. Tak ada cara dan kriteria yang bisa menghambat proses pembusukan ini. Benih dari setiap regenerasi selalu ada dalam diri anak-anak muda. Dan tak mungkin bagi negara kita untuk berharap tercipta sebuah pembaharuan masyarakat dari berandal-berandal muda ini’. 

No comments:
Write comments