PENDIDIKAN,
SEKOLAH, DAN MEDIA MASSA: KELUARGA DAN KAUM WANITA DALAM MASYARAKAT
‘Sekolah
tradisional berwatak oligarkis
karena
diperuntukkan buat generasi baru
dari
lapis penguasa,
yang
pada gilirannya juga akan berkuasa’
namun
sekolah tradisional juga berwatak tidak oligarkis
karena
metode pendidikannya.’
(Gramsci,
Gli intellettuali e l’organizzazione della cultura, h. 112)
Gramsci
membahas problem pendidikan proletarian, dan termasuk di dalamnya problem
sekolah, untuk pertama kalinya secara gamblang dan baru dalam sebuah artikel
yang diterbitkan dalam Il Grido del Popolo pada tanggal 9 Desember 1916.
Dia menyebut problem pembentukan manusia ‘dalam fungsi gandanya, yaitu fungsi
teknis dan spiritual’ sebagai problem ‘primer’. Selama masa-masa Perang Dunia
Pertama, kaum borjuis Italia telah membicarakan tentang perlunya sebuah
pendidikan ‘yang bersifat nasional’.
Namun, menurut Gramsci, saat ini hal yang
lebih perlu dilakukan ialah ‘menentang tesis sosialis bahwa pendidikan yang
humanis yang sederhana dan murni sajalah yang cocok bagi kelas masyarakat umum
yang berhak mendapatkan pendidikan’. Pembedaan yang lebih penting bukanlah
antara sekolah-sekolah nasional atau humanis, atau antara sekolah-sekolah agama
dan sekuler, namun mengenai isi dari program pendidikan untuk massa. Isi dari
program itu haruslah bersumber dari kesadaran yang bersifat serta merta dan
langsung akan kebutuhan-kebutuhan, cita-cita, hak-hak dan kewajiban-kewajiban
mereka’.
Semua ini tak akan mungkin tercapai sepanjang ada monopoli terhadap
pendidikan, dimana kekuasaan dalam sekolah-sekolah berada di tangan kaum
borjuis atau para pendeta: ‘Kita harus merebut pendidikan massa dari
kelas-kelas yang berkuasa.’
Sistem pendidikan
borjuis sendiri tengah berada dalam kehancuran. Anak-anak dari kelas menengah
yang kolot tak lagi memiliki ideal-ideal, dan berlagak menjadi para pahlawan
dan meniru ayah-ayah mereka dengan jalan mengejek sekolah, pengajaran,
pendidikan dan setiap bentuk disiplin dan kerja. Anak-anak yang bersekolah di
sekolah Little Turin bermain-main menjadi anggota-anggota serikat buruh dan
menentang ‘eksploitasi’ yang dijalankan oleh guru-guru mereka.
‘Pemberontakan’ mereka ini tentu saja
lantas menimbulkan rasa muak sekaligus sedih: ‘Anak-anak muda menjadi pengecut
sekaligus melihat terlalu banyak kepengecutan. Kekasaran spiritual yang
sedemikian kuat melanda di kalangan anak-anak muda itu begitu memalukan dan
menyedihkan.’ Namun, kita tak harus terperanjat atau terkejut atas situasi ini
karena anak-anak dari para anggota kelas menengah memang tidak memiliki
ideal-ideal yang bisa memandu gerak perjuangan mereka, yang bisa memandu
‘tuntutan-tuntutan’ mereka.
Pada akhirnya, yang mereka miliki hanyalah
kemampuan yang sangat tidak terbatas untuk menemukan kelemahan-kelemahan dan
ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan fisik dari guru-guru mereka dan mengejek
penampilan luar dan cita-cita kecil guru-guru mereka. Ini semua bukan lagi
kenakalan ala kanak-kanak. Kedangkalan naluriah semacam itu, kenakalan yang tak
terkendali semacam itu telah membuat cemas warga negara-warga negara yang
menjadikan sekolah-sekolah dan pendidikan anak-anak muda sebagai jantung
kepeduliannya.
Namun, apa yang sesungguhnya terjadi ialah ‘sekolah-sekolah itu
tengah mengalami disintegrasi sebagaimana yang dialami oleh institusi-institusi
yang lain, dan dipenuhi dengan segerombolan gangster. Korupsi tengah menyelusup
dan menghancurkan sekolah-sekolah yang seharusnya bertugas memperbaharui
masyarakat dengan cara membentuk diri generasi-generasi masa depan. Tak ada
cara dan kriteria yang bisa menghambat proses pembusukan ini. Benih dari setiap
regenerasi selalu ada dalam diri anak-anak muda. Dan tak mungkin bagi negara
kita untuk berharap tercipta sebuah pembaharuan masyarakat dari
berandal-berandal muda ini’.
No comments:
Write comments