Semesra Bayangmu
Versi
sajak
Embun
ini menyibak sesak menjadi ruang kosong. Hingga terabaikan gundukan yang
menghalangi naluri. Tak mampu cerah namun juga tak mampu sepi untuk jiwa yang
mati. Layaknya sebuah gumpalan sajak rembulan yang menyerpih ketika mendekati
mentari. Seolah ini serpihan kerinduan, kesetiaan dan keabadian antara rembulan
dan mentari.
Aku
menoleh telah ada engkau, gadis yang menyadarkan aku betapa indahnya sepoi ini,
damainya menelan mentah embun pagi. Mentari enggan memberi kehangatan, namun
senyum itu telah menelusup dalam hati dan memberi kehangatan tersendiri. Lebih
tepatnya kedamaian.
Sesaat
kau ayunkan langkah didepan, berceloteh kecil dengan senyum kecil pula. Apakah
semua kan terulang? Lantas apa yang terulang? Aku bertengkar dengan fikirku
sendiri. Engkau siapa dan mengapa? Apakah utusan atau memang tertakdirkan.
Sungguh
aneh teramat asing rasa ini. Bukan, bukan aku terpikat, namun seolah memang
terikat. Celoteh burung itu apakah memberi nuansa tersendiri? Tentu saja iya
duhai dunia. Apakah adam dan hawa juga seperti ini ketika di istana surga? Sekitar
layaknya kota mati, namun aku merasa ini kehidupan. Embun ini berbisik, hatiku
mati disini teriak dan tak menggema. Cukup disini...
Satu
pagi, dua pagi dan hadir berpagi pagi lainnya hingga tak lagi nampak embun
bersemi. Mungkinkah sudah habis musimnya, mungkinkah sudah hilang serpihan –
serpihan rasa antara rembulan dan mentari itu? Namun aku tak perlu terlalu
gusar.
Kau
beri rasa yang berbeda, ataukah aku yang salah mengartikan kedamaian ini.
Dimana ketika memandang dalam senyummu aku anggap sama dengan menghirup dalam
embun kala pagi. Dimana aku meninggikan hatimu, serasa aku menjadi rembulan
yang kau beri cahaya hingga menjadikan segala rasa ini menjadi serpihan serpihan yang lain. Yang mewarnai dunia
menjadi cerah merona.
Singkat
teramat singkat untuk melihatmu lagi.
Tak sanggup sungguh tak lagi sanggup untuk
memikatmu. Tuk melihatmu dengan cahya yang ku anggap mentari. Aku diam seolah
tak berarti, apakah hidup seperti mati?
Kemana
senandung burung yang merdu itu? Apakah burung telah bisu? Ataukah aku yang
telah menuli? Coba bertanya pada langit dan semesta tak ada jawabnya. Terpejam
antara pepohonan dan sinar mentari ini pun tak aku dapati jawab. Hingga embun
telah kembali, namun sosokmu tak mampu ku dapati lagi. Masih tetap mencari
jalanmu diantara jalanku
Terpejam,
menghirup dengan dalam dan panjang,,, Berharap kembali lagi senyum yang lampau.
Tertidur dalam sela waktu lantas terjaga menunggu pagi. Namun ketika aku
membuka mata, yang kuadapati hanya senyum yang mebias mendendangkan sayup
suara, dan akan selalu dekat, semesra
bayangmu...
-Tutur Santika-
No comments:
Write comments