Wednesday, 9 August 2017

SEMESRA BAYANGMU

 

Semesra Bayangmu
Versi sajak

Embun ini menyibak sesak menjadi ruang kosong. Hingga terabaikan gundukan yang menghalangi naluri. Tak mampu cerah namun juga tak mampu sepi untuk jiwa yang mati. Layaknya sebuah gumpalan sajak rembulan yang menyerpih ketika mendekati mentari. Seolah ini serpihan kerinduan, kesetiaan dan keabadian antara rembulan dan mentari.

Aku menoleh telah ada engkau, gadis yang menyadarkan aku betapa indahnya sepoi ini, damainya menelan mentah embun pagi. Mentari enggan memberi kehangatan, namun senyum itu telah menelusup dalam hati dan memberi kehangatan tersendiri. Lebih tepatnya kedamaian.

Sesaat kau ayunkan langkah didepan, berceloteh kecil dengan senyum kecil pula. Apakah semua kan terulang? Lantas apa yang terulang? Aku bertengkar dengan fikirku sendiri. Engkau siapa dan mengapa? Apakah utusan atau memang tertakdirkan.

Sungguh aneh teramat asing rasa ini. Bukan, bukan aku terpikat, namun seolah memang terikat. Celoteh burung itu apakah memberi nuansa tersendiri? Tentu saja iya duhai dunia. Apakah adam dan hawa juga seperti ini ketika di istana surga? Sekitar layaknya kota mati, namun aku merasa ini kehidupan. Embun ini berbisik, hatiku mati disini teriak dan tak menggema. Cukup disini...

Satu pagi, dua pagi dan hadir berpagi pagi lainnya hingga tak lagi nampak embun bersemi. Mungkinkah sudah habis musimnya, mungkinkah sudah hilang serpihan – serpihan rasa antara rembulan dan mentari itu? Namun aku tak perlu terlalu gusar.

Kau beri rasa yang berbeda, ataukah aku yang salah mengartikan kedamaian ini. Dimana ketika memandang dalam senyummu aku anggap sama dengan menghirup dalam embun kala pagi. Dimana aku meninggikan hatimu, serasa aku menjadi rembulan yang kau beri cahaya hingga menjadikan segala rasa ini menjadi serpihan  serpihan yang lain. Yang mewarnai dunia menjadi cerah merona.

Singkat teramat singkat untuk melihatmu lagi.
 Tak sanggup sungguh tak lagi sanggup untuk memikatmu. Tuk melihatmu dengan cahya yang ku anggap mentari. Aku diam seolah tak berarti, apakah hidup seperti mati?

Kemana senandung burung yang merdu itu? Apakah burung telah bisu? Ataukah aku yang telah menuli? Coba bertanya pada langit dan semesta tak ada jawabnya. Terpejam antara pepohonan dan sinar mentari ini pun tak aku dapati jawab. Hingga embun telah kembali, namun sosokmu tak mampu ku dapati lagi. Masih tetap mencari jalanmu diantara jalanku


Terpejam, menghirup dengan dalam dan panjang,,, Berharap kembali lagi senyum yang lampau. Tertidur dalam sela waktu lantas terjaga menunggu pagi. Namun ketika aku membuka mata, yang kuadapati hanya senyum yang mebias mendendangkan sayup suara, dan akan selalu dekat, semesra bayangmu...

-Tutur Santika-

No comments:
Write comments