Asal
Kata
Nabi Muhammad saw dalam salah satu
haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok
yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut,
yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut denganAhlus Sunnah
wal Jamaah,
Ketika ditanya tentang artinya, beliau
menjawab singkat:
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
Segala yang aku berada di atasnya
sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama
sahabat-sahabatku.
Dari hadits tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa:
Istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah
pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.
secara garis besar sudah diterangkan
pula artinya.
Pengertian
Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan
pengertian sebagai berikut:
Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum
atau golongan.
Kata assunnah artinya tingkah laku,
kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti
hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits,
yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.
Kata wa atau wal adalah kata sambung,
berarti "dan".
Kata aljamaah, semula berarti kelompok.
Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi.
Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman
kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.
Analisis
Arti kata demi kata tersebut dapat
dianalisis sebagai berikut:
Kata ahlu sudah jelas.
Kata assunnah dalam arti sempit hanya
mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam.
Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah
seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat
dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran
itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul
Quran, tidak bisa lain.
Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang
disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.
Kata aljamaah berarti para sahabat,
terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu
bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi
juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama
sahabat terkemuka mengetahui:
sebab musabab sesuatu hadits timbul,
situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan hubungan sesuatu hadits dengan
hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi
sehari-hari dan sebagainya.
Kalau kita membaca sebuah hadits
diibaratkan melihat sebuah potret, maka mereka lebih mengetahui obyek yang
dipotret dan mengenal daerah sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada
potret itu. Mereka lebih menghayati hadits atau sunnah.
Faktor penghayatan mereka sangat penting
sekali nilainya sebagai bahan pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu
pendapat mengenai arti sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para
sahabat terkemuka tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran
dan al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan
pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang kurang
bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar atas pendapat
pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman analisisnya.
Bukan suatu hal yang mustahil ada
sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang dilihat dan dihayati oleh para
sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak sampai kepada kita. Mungkin tidak
terbaca oleh kita, atau mungkin tidak tercatat oleh para pencatat hadits.
Itulah antara lain sebabnya, masalah tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau
penghayatan sahabat Umar bin Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat
lainnya diterima sebagai sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk
salat Jumat berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu nash sharih
selalu didahulukan dari pendapat siapa pun.
Penilaian yang tinggi terhadap
penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi
sendiri dirangkaikan antara assunnah denganaljamaah. Nabi pernah bersabda yang
maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan
siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat
petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari
agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka
adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan
al-Hadits.
Dengan pengertian inilah kata assunnah
denganaljamaa dirangkaikan. Assunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas,
dan aljamaah diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai
petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah.
Oleh karena itu disimpulkan pengertian:
assunnah wal jamaah: persis sama dengan
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
, yaitu:
ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan
diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan dihayati, diikuti, dan diamalkan pula
oleh para sahabat. Ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang berusaha selalu
berada pada garis kebenaranassunnah wal jamaah.
Secara popular dan mudah, tetapi berbau
reklame dan agitasi dapat dirumuskan bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah
golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw.
Proses
Perkembangan
Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan
yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau
selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang
kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri,
memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.
Faktor utama yang menyebabkan pembedaan,
pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme,
berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan.
Sebagaimana adat dunia, tiap ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul
pihak yang berlebihan ke kiri.
Hal yang menonjol dalam sejarah ialah
kebangkitan golongan Syiah yang berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga
menyalahkan sahabat Abu Bakar ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama
makin hebat dan menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan
arah.
Kemudian muncul golongan Khawarij yang
terlalu kaku, radikal. Semula mereka tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha
kompromi antara Syiah dan anti Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan
menamakan diri Khawarij. Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional
sentimental atau terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat
disebut terlalu radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur.
Pada zaman berikutnya muncul lagi
golonganMu'tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash
yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera
pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu
rasionalistis.
Semula perbedaan atau penyimpangan
kecil, makin lama membesar dan makin parah. Tiap penyimpangan disusul dengan
penyimpangan, bercabang-cabang menjadi semrawut.
Hal-hal lain yang menambah keparahan
perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah:
Kepentingan famili, politik, dan
kekuasaan, Kepentingan politik telah menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman
bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan
Abbasiyah.
Infiltrasi kaum munafik yang
berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum munafik secara halus telah banyak
menimbulkan pertentangan antara lain pernah ada 'anti Aisyah'.
Sisa-sisa kepercayaan lama dan
israiliyat yang sedikit banyak masih ada pada pemeluk Islam baru dari berbagai
unsur seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan
kaum muslimin baik disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada
dasarnya dalam Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.
Pengaruh filsafat barat, Yunani.
Filsafat Yunani yang diungsikan dari barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi
banyak diterima, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam.
Disamping kemajuan berpikir yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul
sikap terlalu akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi
rumit dan sulit.
Disamping penyimpangan dan penyelewengan
yang semrawut, masih cukup kuat dan besar kaum muslim yang tetap berada pada
jalan lurus dengan tokoh para ulama shalihin mukhlishin, ahli agama yang
beramal saleh dan yang ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha,
berjuang, dan bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan
mengembangkanassunnah wal jamaah serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur
penyelewengan.
Prinsip
Kebenaran
Selain perjuangan praktis insidental
mengajarkan assunnah wal jamaah dan menolak serangan atau penyelewengan, mereka
juga berusaha keras mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan
haluan untuk tetap berada pada garis kebenaranassunnah wal jamaah agar
terbentengi dari penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara
lain:
nash yang qath'iy, yaitu al-Quran dan
hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan. Ar-ra'yu, akal
pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath'iy atau tidak ada /nash/nya. penggunaan ar-ra'yu untuk menyimpulkan hukum
agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi
syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaranassunnah
wal jamaah.
Bagi yang tidak mampu memenuhi syarat
tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat. Sikap
tawassuth yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan atau ke kiri dan
sikap tawazunyaitu sikap berkeseimbangan yang tidak berat sebelah harus selalu
menjadi pedoman dalam segala hal ketika menghadapi segala masalah agar tidak
terjerumus kepada penyelewengan.
Metoda yang dibekalkan oleh para ulama
salaf, shalihin, mukhlishin kepada umat Islam adalah agar selalu berada pada
garis kebenaran assunnah wal jamaah. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam
yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah
sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaranassunnah wal jamaah antara
lain:
Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan:
Imam Abul Hasan al-Asy'ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy.
Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam
Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy, dan Imam Hambali.
Sebenarnya masih banyak lagi selain yang
disebut di atas, namun merekalah yang paling terkenal yang pendapat, hasil
ijtihadnya, dan hasil perumusannya dapat dibukukan serta dipelajari sampai
sekarang.
Argumentasi
Berdasarkan pedoman yang telah
dibekalkan oleh para ulama salaf shalihin mukhlishin tersebut dapat dikemukakan
argumentasi:
1. Nash qath'iy yang harus didahulukan
sebelum penggunaan akal pikiran adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar
atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang
membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad
utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.
2. Ar-ra'yu yang dipergunakan adalah
berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke
Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi,
bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau
tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi
membenarkan jawaban sahabat Muadz.
3. Penggunaan ar-ra'yu yang harus
dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang
dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi
ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan
pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka.
Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang
berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para
pengikutnya yang harus terpikul.
4. Keharusan seseorang yang tidak mampu
memenuhi syarat berijtihad sendiri dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat
para ahli agama yang ahli ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus
bertanya kepada y
ang tahu, yang tidak ahli harus bertanya
kepada yang ahli. Firman Allah dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya:
"Bertanyalah kepada ahli agama
kalau kamu sekalian tidak tahu."
Siapakah yang ahli agama itu? Mereka
adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil
ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap.
Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atautaklid.
5. Umat Islam yang harus bersikap
tawassuth, jalan tengah lurus, dan tawazun, berkeseimbangan, adalah memang
watak atau karakteristik agama Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak
ayat yang menunjukkan karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat
dibuktikan bahwa tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua
kesalahan. Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap tawassuth
dan tawazun adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah
dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan karakter
ini. Sudah barang tentu sikap tawassuthharus tidak menyeleweng dari kaidah
agama yang lebih mutlak.
Perilaku
Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Seorang ahlus sunnah wal jamaah dalam
realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut:
Mula-mula belajar pada seorang ulama
atau guru agama yang memberikan pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid
dan menerima kebenaran semua pelajaran tersebut. Kemudian mempelajari dalil
yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.
Bagi yang berkemampuan atau
berkesempatan dapat dilanjutkan dengan memperbanding sesuatu pedapat dengan
pendapat lain, menilai argumentasinya dan seterusnya.
Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai
syarat-syarat kemampuan dan keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada
umumnya hanya sampai kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu
hal tetapi masih dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.
Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu
pendapat sendiri karena harus pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain
sehingga selalu bersikap toleran, tawassuth, dan tawazun.
Dengan berbekal pedoman dari ulama salaf
dalam proses pembinaan yang berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang
lazim disebut kaum kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan
menyebut diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak salah,
tetapi harus segera diingatkan bahwaahlus sunnah wal jamaah tidaklah terbatas
hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin ketat belajar
dan memperdalam ilmu agama Islam serta pengamalannya menurut garis assunnah wal
jamaah. Tetapi setiap muslim dapat menjadi ahlus sunnah wal jamaah yang baik
asal mau mengikuti jejak dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf,
tokoh pembela dan pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka
kita akan tetap berada di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah.
Anggapan bahwa ahlus sunnah wal jamaah
tidak menggunakan akal pikirannya, hanya bertaklid buta saja, adalah suatu
anggapan yang keliru. Anggapan bahwa kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil
sesuatu masalah, hanya ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai
dengan kenyataan.
Mungkin di kalangan mereka masih sedikit
orang yang pandai berkomunikasi, berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam
media massa modern seperti buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan
bahasa banyak dan mudah dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat
modern. Mereka lebih mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal
ini merupakan tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak
agar komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling
pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan.
Kaum muslim di Indonesia wajib
melipatgandakan rasa syukur kepada Allah, karena pada umumnya tidak terdapat
perbedaan pendapat yang besar dalam masalah keagamaan. Hal yang perlu kita
garap adalah penyempurnaan kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan
pendapat. Untuk itu perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal
keagamaan, bukan perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi
muda Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri dengan
jaringan liberal.
Berijtihad
VS Bermadzhab
Berbicara tentang ahlus sunnah wal
jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal
tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga
penggunaan ra'yu adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu
hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya
tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'iy, pasti.
Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan
oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak adanash sharih dan
qath'iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa
metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau
kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum
itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.
Hasil ijtihad atau madzhab seorang
mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain
yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil
ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad
adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.
Persyaratan
Berijtihad
Sebagaimana diuraikan sebelumnya,
menurut ahlus sunnah wal jamaah bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yudalam
menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya
tidak menyalahiassunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi
pada pokoknya adalah:
Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan
al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Semuanya dilakukan atas dasar akhlak
atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran,
bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan
selera dan nafsu atau kepentingan lain.
Jika dikomparasikan dengan produsen,
persyaratan yang diperlukan adalan memiliki bahan baku, pengetahuan tentang
bahan, dan teknologi yang benar untuk menghasilkan produksi yang benar dan
bermanfaat. Kiranya tidak sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan
mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan
perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena
itu ada dua alternatif:
Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan
oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.
Menerima dan mengikuti hasil ijtihad
atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada
waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah
mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.
Mungkin ada orang yang merasa mampu
berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf
'merasa' mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal
jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat
dilakukan oleh semua orang.
Bermadzhab sering disebut dengan
bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang
dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan
menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits.
Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh
ulama, kiyahi, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap
muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran
tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.
Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang
bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli
hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab
Syafi'iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang,
makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan
mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
Ada alternatif lain yang disebut
ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan
argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara
lain:
Usaha untuk menjadikan setiap muslim
dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat
tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa
setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal
yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang
tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang
yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?
Sebenarnya ittiba' adalah salah satu
tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya
terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar
anjuran dan didorong sekuat tenaga.
Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan
faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat
teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti
ijtihad dan anti bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan
diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal tersebut
diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun ketahudirian dan
melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat
dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal
tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan
al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab.
Pihak yang menamakan diri sebagai
golongan ijtihad sebenarnya dalam kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri.
Mereka tetap mengikuti hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari
madzhab lama dan mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat
mengerti atau mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru,
tetapi lebih banyak yang tidak mengetahuinya.
Pertentangan yang timbul biasanya tidak
bertitik tolak pada inti masalah, namun sudah berada di luarnya. Permasalahan
yang timbul sering disebabkan ulah dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi
sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.
Penyakit lain di kalangan umat Islam yang
sangat mengganggu usaha kerukunan umat adalah terlalu berorientasi atau
berkiblat kepada kepentingan golongan dan kurang berorientasi kepada pendirian
keagamaan dan kepada agama. Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin
memenangkan golongan masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut
dan kurang terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan.
Mereka akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang
lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi tersebut
menguntungkan atau merugikan umat dan agama.
Penyakit yang sangat parah tersebut
menghasung upaya pembinaan generasi muda yang penuh pengertian atas tanggung
jawabnya pada masa depan. Penanganan dan pemupukan serta pengembangan bibit
pengertian ke arah persatuan umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa
depan. Di tengah kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang
merisaukan kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme
hilang, maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang
berakibat kehilangan segala-galanya.
Sepanjang sejarah, tiap generasi tua
yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam peredaran zaman selalu melihat
dengan telti kesalahan generasi muda yang akan menggantikan dengan penuh rasa
khawatir. Kekhawatiran seperti itu adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan
yang dapat mengarah kepada peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang
pasti akan menggantikan.
Karena itu generasi tua yang sadar akan
memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan
demikian tidak perlu meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan
generasi tua dapat diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan.
Hal ini dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran
secara wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau
kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan kegagalan
perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat keluar dari
kegagalan.
Reorientasi
Agamawi
Salah satu hal yang dipandang belum
berhasil adalah kerukunan umat secara mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia
berhasil membentuk wadah kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan
mengembangkannya secara mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi
dunia Islam pada umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat
menancapkan harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang
gemilang.
Terkadang kita perlu prihatin melihat
beberapa kondisi yang tidak mengenakkan, terutama melihat posisi berbagai
organisasi Islam, meski potensi sesuatu umat tidak hanya bergantung kepada
posisi organisasinya saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan potensi
tersebut.
Mari kita coba untuk merenungkan diri
kembali. Orientasi umat Islam yang selama ini terpencar dan berserakan kiranya
perlu dikembalikan ke pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi
agamawi. Kita perlu berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya
meningkatkan potensi agama Islam di Indonesia.
Perjuangan untuk menumbuhkan,
memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat bukan hanya tugas satu
generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh generasi secara
berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur dan kesempatan sudah hampir
pupus dan pada gilirannya pasti habis. Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih
ke tangan generasi muda, bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini.
Karena itu kiranya perlu menjadikan
generasi muda sebagai manusia sejarah dan manusia pejuang yang sanggup berdiri
sendiri. Mereka tidak boleh menjadi anak-anak yang hanya pandai membanggakan
hasil karya nenek moyangnya. Pepatah Arab mengatakan:
اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا
*
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ
...
Generasi muda ialah mereka yang berani
berkata: "Inilah aku!", bukan mereka yang hanya dapat berkata:
"Aku keturunan tokoh anu ..."
Kesimpulan
Ahlus sunnah wal jamaah adalah golongan
yang selalu berusaha tetap di atas garis kebenaranassunnah wal jamaah, yaitu
yang mempergunakan dasar al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama agama
Islam serta penghayatan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk untuk mencapai
garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.
Penggunaan ar-ra'yu atau akal untuk
menyimpulkan hukum agama atas sesuatu masalah yang tidak ada nash sharih/jelas
dalam al-Quran dan al-Hadits disebut dengan ijtihad; yang dapat dilakukan
dengan berbagai cara antara lain qiyas/analogi dan ijmak atau kesepakatan para
mujtahid. Karena hanya sedikit orang yang mampu memenuhi persyaratan mujtahid,
maka ada alternatif untuk menerima dan mengikuti hasil ijtihad orang lain yang
disebut dengan bermadzhab.
Generasi muda perlu memahami akar
masalah antara mampu berijtihad, merasa mampu berijtihad, atau tahu diri
tentang kemampuannya dalam memahami masalah agama agar tidak terjadi pertikaian
dan membuat kelompok-kelompok baru yang menyendiri.
Generasi tua perlu memberikan bimbingan
terhadap generasi muda yang pada gilirannya akan menggantikan kemudi dalam
perjalanan sejarah berikutnya, bagaimanapun kondisi keberagamaan generasi
mudanya saat ditinggalkan.
Penyusun
A. Muchith Muzadi (Jember, 21 Muharram
1395)
Editor:
Ahmed Machfudh(Jakarta, 21 Dzulhijjah
1425)
No comments:
Write comments